HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA PERUSAHAAN



HUBUNGAN CORPORATE GOVERNANCE DAN KINERJA PERUSAHAAN






Corporate Governance dan Perspektif Keagenan
Perspektif hubungan keagenan merupakan dasar yang digunakan untuk memahami corporate governance.Hubungan keagenan adalah sebuah kontrak antara principal dan agen (dikembangkan oleh Coase, 1937; Jensen and Meckling, 1976; dan Fama and Jensen, 1983).Inti dari hubungan keagenan adalah adanya pemisahaan antara kepemilikan (di pihak principal/investor) dan pengendalian (di pihak agent/manajer).  Investor memiliki harapan bahwa manajer akan menghasilkan returns dari uang yang mereka investasikan.  Oleh karena itu, kontrak yang baik antara investor dan manajer adalah kontrak yang mampu menjelaskan spesifikasi-spesifikasi apa sajakah yang harus dilakukan manajer dalam mengelola dana para investor, dan spesifikasi tentang pembagian return antara manajer dengan investor.  Secara ideal, investor dan manajer sebaiknya menandatangani kontrak yang lengkap/komplit, yang menspesifikasikan secara tepat apa saja yang akan dilakukan oleh manajer di segala kemungkinan yang terjadi, dan bagaimana laba perusahaan akan dialokasikan.  Namun demikian, sebagian besar faktor-faktor kontinjensi sulit untuk dilihat/diramal sebelumnya, sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk diwujudkan.Dengan demikian, investor diharuskan untuk memberikan hak pengendalian residual (residual control right) kepada manajer, yaitu hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum terlihat dikontrak.
Hak pengendalian residual yang dimiliki oleh manajer memungkinkan untuk diselewengkan dan akan menimbulkan masalah keagenan yang dapat diartikan dengan sulitnya investor memperoleh keyakinan bahwa dana yang mereka tanamkan tidak dikelola dengan semestinya oleh manajer.  Manajer memiliki hak untuk mengelola perusahaan dan dengan demikian, manajer memiliki hak diskresioner dalam mengelola dana investor.  Kemungkinan yang akan terjadi selanjutnya adalah bahwa manajer dapat melakukan ekspropriasi dana investor. 
Ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer dapat dilakukan dengan berbagai cara/bentuk, mulai dari penggelapan dana investor, menjual produk perusahaan kepada perusahaan yang dimiliki oleh manajer dengan harga yang lebih rendah dibandingkan dengan harga pasar, hingga menjual aset perusahaan lainnya ke perusahaan yang dimiliki oleh manajer.  Bahkan, yang paling parah, ekspropriasi yang dilakukan oleh manajer bisa berupa mempertahankan jabatan/posisi pekerjaannya meskipun mereka sudah tidak berkompeten atau berkualitas lagi dalam menjalankan usahanya (Shleifer dan Vishny, 1989).Jensen dan Ruback (1983) berargumen bahwamanajer yang tidak berkualitas yang bertahan untuk bisa digantikan merupakan perujudan dari masalah keagenan yang paling mahal.
Teori keagenan berusaha untuk menjawab masalah keagenanan yang terjadi jika pihak-pihak yang saling bekerja sama memiliki tujuan dan pembagian kerja yang berbeda.  Secara khusus teori keagenan membahas tentang adanya hubungan keagenan, dimana suatu pihak tertentu (principal) mendelegasikan pekerjaan kepada pihak lain (agent), yang melakukan pekerjaan.Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi dalam hubungan keagenan (Eisenhardt, 1989).  Pertama,  adalah masalah keagenan yang timbul pada saat (a) keinginan-keinginan atau tujuan-tujuan dari prinsipal dan agen berlawanan dan (b) merupakan suatu hal yang sulit atau mahal bagi prinsipal untuk melakukan verifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen.  Permasalahannya adalah bahwa prinsipal tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat.Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul pada saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko.Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki preferensi tindakan yang berbeda yang dikarenakan adanya perbedaan preferensi terhadap risiko.
          Oleh karena unit analisis dalam teori keagenan adalah kontrak yang melandasi hubungan antara prinsipal dan agen, maka fokus dari teori ini adalah pada penentuan kontrak yang paling efisien yang mendasari hubungan antara prinsipal dan agen.Teori keagenan dilandasi oleh beberapa asumsi (Eisenhardt, 1989).Asumsi-asumsi tersebut dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu asumsi tentang sifat manusia, asumsi keorganisasian dan asumsi informasi.Asumsi sifat manusia menekankan bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri (self-interest), memiliki keterbatasan rasionalitas (bounded rationality), dan tidak menyukai risiko (risk aversion).Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen.Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang bisa diperjualbelikan.
          Konflik kepentingan yang dikarenakan oleh kemungkinan bahwa agen tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal memicu terjadinya biaya keagenan.Jensen dan Meckling (1976) menyebutkan ada tiga jenis biaya keagenan.  Prinsipal dapat membatasi divergensi dari kepentingannya dengan menetapkan insentif yang layak dan  dengan mengeluarkan biaya monitoring (monitoring cost) yang dirancang untuk membatasi aktivitas-aktivitas yang menyimpang yang dilakukan oleh agen.  Dalam beberapa situasi tertentu, agen memungkinkan untuk membelanjakan sumber daya perusahaan (biaya bonding/bonding cost) untuk menjamin bahwa agen tidak akan bertindak yang dapat merugikan prinsipal atau untuk meyakinkan bahwa prinsipal akan memberikan kompensasi jika dia benar-benar melakukan tindakan tersebut.  Namun demikian, masih bisa terjadi divergensi antara keputusan-keputusan agen dengan keputusan-keputusan yang dapat memaksimalkan kesejahteraan agen.Nilai uang yang ekuivalen dengan pengurangan kesejahteraan yang dialami oleh prinsipal juga merupakan biaya yang timbul dari hubungan keagenan.Biaya sejenis ini disebut kerugian residual (residual loss).
Jensen dan Meckling (1976) juga menunjukkan adanya tiga unsur tambahan yang dapat membatasi perilaku menyimpang yang dilakukan oleh agen.Unsur-unsur tersebut adalah bekerjanya pasar tenaga manajerial, bekerjanya pasar modal dan unsur bekerjanya pasar bagi keinginan menguasai dan memiliki/mendominasi kepemilikan perusahaan (market for corporate control).
Agen bisa tidak bermasa depan bila kinerjanya buruk sehingga diberhentikan oleh pemegang saham.  Pasar tenaga kerja manajerial akan menghapus kesempatan pengelola  yang tidak mempunyai kinerja baik dan berperilaku menyimpang dari keinginan pemegang saham perusahaan yang dikelolanya.  Bekerjanya pasar modal secara efisien bisa menjadi cermin kinerja manajer dari harga saham perusahaannya.  Bekerjanya market for corporate control bisa menghambat tindakan menguntungkan diri pengelola sendiri dalam hal menghentikan pengelola dari jabatannya jika perusahaan yang dikelolanya mempunyai kinerja rendah yang memungkinkan pemegang saham baru menggantinya dengan pengelola lain setelah perusahaan diambil alih.
Berkaitan dengan masalah keagenan, corporate governance yang merupakan konsep yang didasarkan pada teori keagenan,diharapkan bisa berfungsi sebagai alat untuk memberikan keyakinan kepada para investor bahwa mereka akan menerima return  atas dana yang telah mereka investasikan.  Corporate governance berkaitan dengan bagaimana para investor yakin bahwa manajer akan memberikan keuntungan bagi mereka, yakin bahwa manajer tidak akan mencuri/menggelapkan atau menginvestasikan ke dalam proyek-proyek yang tidak mengutungkan berkaitan dengan dana/kapital yang telah ditanamkan oleh investor, dan berkaitan dengan bagaimana para investor mengkontrol para manajer (Shleifer dan Vishny, 1997).  
Corporate governance merupakan suatu elemen kunci dalam meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi serangkaian hubungan antara menejemen perusahaan, dewan direksinya (dewan direksi dan komisasris, untuk negara-negara yang menganut sistem hukum two-tier, termasuk Indonesia), para pemegang sahamnya dan stakeholders lainnya (OECD, 1999).  Corporate governance juga memberikan suatu struktur yang memfasilitasi penentuan sasaran-sasaran (objectives) dari suatu perusahaan, dan sebagai sarana untuk mencapai sasaran-sasaran tersebut dan sarana  untuk menentukan teknik monitoring kinerja.  Good corporate governance harus memberikan insentif yang tepat untuk dewan direksi dan menejemen dalam rangka mencapai sasaran-sasaran yang ditentukan dari sisi kepentingan perusahaan dan para pemegang saham dan juga harus dapat memfasilitasi monitoring yang efektif, sehingga mendorong perusahaan untuk menggunakan sumberdaya secara efisien (OECD, 1999).
          Isu tentang corporate governance mulai hangat dibicarakan sejak terjadinya berbagai skandal yang mengindikasikan lemahnya corporate governance di perusahaan-perusahaan Inggris pada sekitar tahun 1950an, seperti manipulasi dana pensiun Maxwell, skandal Rolls Royce dan lain-lainnya.  Skandal-skandal tersebut dilanjutkan dengan banyaknya pengambilalihan usaha (takeover) dan insider trading yang terjadi di tahun 1970an  dan selanjutnya menimbulkan resesi di tahun 1980an (Davies, 1999; hal. 34-35).
          Berkaitan dengan berbagai skandal bisnis tersebut, dibentuklah The Cadbury Committee pada bulan Mei 1991 yang bertugas untuk membuat Code of Best Practice yang berkaitan dengan pelaporan keuangan dan akuntabilitas.  Komite-komite corporate governance  selanjutnya yang dibentuk di negara Inggris adalah  The Greenbury Committee, yang lebih menekankan pada remunerasi direksi, dan The Hampel Committee, yang menekankan pada proteksi Investor (Davies, 1999, hal. 38-44).
          Sejalan dengan perkembangan isu corporate governance di negara Inggris, di berbagai negara maju lainnya seperti Amerika, Jerman, Perancis, Jepang, Rusia, Italia, dan Australia juga mulai marak di diskusikan.  Seperti pengalaman di Inggris, isu tentang corporate governance marak diperbincangkan berkaitan dengan adanya berbagai macam skandal bisnis di negara-negara tersebut.

Penerapan Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan.
Johnson dkk.(2000) memberikan bukti bahwa rendahnya kualitas corporate governance dalam suatu negara berdampak negatif pada pasar saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan pada masa krisis di Asia.Johnson dkk.mendefinisikancorporate governance sebagai efektivitas mekanisme yang bertujuan meminimisasi konflik keagenan, dengan penekanan khusus pada mekanisme legal yang mencegah dilakukannya ekspropriasi atas pemegang saham minoritas.  Penjelasan teoritis yang mendasari penelitian Johnson dkk.adalah bahwa jika ekspropriasi yang dilakukan oleh para manajer meningkat pada saat tingkat kembalian investasi yang diharapkan oleh investor jatuh, maka shock yang diakibatkan dari menurunya tingkat kepercayaan investor akan mendorong terjadinya penurunan capital inflow dan meningkatnya capital outflows dari suatu negara.  Akibat selanjutnya adalah menurunnya harga saham dan nilai tukar mata uang negara yang bersangkutan.Penelitian Johnson dkk.dilakukan dengan menggunakan sampel penelitian sebanyak 25 negara yang sedang berkembang pasar modalnya (emerging market), termasuk Indonesia diantaranya, dan menggunakan alat analisis regresi.  Variabel corporate governance diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh La Porta dkk. (1998), yang terdiri dari judicial efficiency, corruption, rule of law, enforceable minority shareholder rights, antidirector rights, creditors rights, dan accounting standars. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel corporate governance lebih bisa menjelaskan variasi dari perubahan nilai tukar mata uang dan kinerja pasar modal, dibandingkan dengan variabel-variabel ekonomikamakro.
          Dengan menggunakan sampel sebanyak 49 negara, La Porta (1997) menunjukkan bahwa negara-negara yang melakukan proteksi terhadap para pemegang saham, yang diukur dengan caracter of legal rules and the quality of law enforcement, memiliki pasar modal yang lebih berkembang, lebih besar listed securities per capita, dan rate of IPO activity yang lebih tinggi dibandingkan negara-negara yang kurang baik melakukan proteksi terhadap para pemegang saham.  Penemuan mereka menunjukkan hasil yang sejalan, baik untuk equity maupun debt market.Negara-negara yang lebih baik dalam melakukan proteksi pada para kreditor memiliki credit market yang lebih besar.
          Melalui pengaruhnya terhadap perkembangan pasar modal, proteksi investor dapat mempengaruhi perekonomian riil.Menurut Beck dkk. (2000), perkembangan dalam bidang keuangan dari suatu negara dapat mempercepat pertumbuhan dengan tiga cara.  Pertama, meningkatkan tabungan (savings).Kedua, menanamkan tabungan tersebut ke dalam investasi riil, sehingga bisa mempercepat akumulasi kapital. Ketiga, dengan luasnya pengendalian keputusan-keputusan investasi yang dimiliki oleh pihak-pihak institusi keuangan, maka perkembangan dalam bidang keuangan tersebut akan mendorong aliran modal ke arah penggunaan yang lebih produktif, sehingga bisa meningkatkan efisiensi alokasi sumber daya.  Ketiga hal tersebut akan  mempunyai dampak besar terhadap pertumbuhan perekonomian dalam suatu negara.
          Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan perkembangan di bidang keuangan dengan pertumbuhan ekonomi.  King dan Levine (1993) seperti dikutip  La Porta dkk. (2000) menunjukkan bahwa negara yang memiliki pasar modal yang besar memiliki pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat di masa datang.  Penelitian yang dilakukan oleh Demirguc-Kunt dan Maksimovic (1998); Levine dan Zervos (1998); Rajan dan Zingales (1998); dan Carlin dan Mayer (1999) menunjukkan hasil yang konsisten, dengan membuktikan adanya dampak pengembangan di bidang keuangan terhadap pertumbuhan suatu negara (lihat La Porta dkk., 2000).
          Sejalan dengan penelitian-penelitian di atas, seperti yang disitir dalam Black dkk. (2003), Modigliani dan Perotti (2000) menemukan bahwa besarnya premium dari high-voting shares (menunjukkan lemahnya perlindungan pada investor minoritas) dan tingkat korupsi mengakibatkan tidak berkembangnya pasar saham.  Levine (1998, 1999) menemukan bahwa kualitas pengungkapan akuntansi mempengaruhi ukuran pasar saham.
Sebagian besar penelitian tentang variasi corporate governance di tingkat perusahaan dilakukan di Amerika dan negara-negara anggota OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) (lihat, misal, survei yang dilakukan oleh Shleifer dan Vishny, 1997).Penelitian yang dilakukan di negara yang sedang berkembang masih sangat sedikit dilakukan.  Black (2001) berargumen bahwa pengaruh praktik corporate governance terhadap nilai perusahaan akan lebih kuat di negara berkembang dibandingkan di negara maju.  Hal tersebut dikarenakan oleh lebih bervariasinya praktik corporate governance di negara berkembang dibandingkan negara maju.Durnev dan Kim (2002) memberikan bukti bahwa praktik corporate governance lebih bervariasi di negara yang memiliki lingkungan hukum yang lebih lemah.
Black dkk.(2003) memberikan bukti bahwa corporate governance merupakan faktor penting dalam menjelaskan nilai perusahaan-perusahaan publik di Korea.Penelitian mereka menggunakan sampel sebanyak 526 perusahaan.Analisis dilakukan dengan menggunakan OLS, 2SLS, dan 3SLS.Hasil analisis dengan menggunakan 2SLS dan 3SLS menujukkan bahwa besarnya koefisien variabel corporate governance adalah tiga kali dan lebih signifikan dibandingkan dengan menggunakan OLS.

          Klapper dan Love (2002) menemukan adanya hubungan positif antara corporate governance dengan kinerja perusahaan yang diukur dengan return on assets (ROA) dan Tobin’s Q.  Penemuan penting lainnya dari penelitian mereka adalah bahwa penerapan corporate governance di tingkat perusahaan lebih memiliki arti dalam negara berkembang dibandingkan dalam negara maju.  Hal tersebut menujukkan bahwa perusahaan yang menerapkan corporate governance yang baik akan memperoleh manfaat yang lebih besar di negara-negara yang lingkungan hukumnya buruk.

          Mitton (2000) menujukkan bahwa variabel-variabel yang berkaitan dengan corporate governance mempunyai dampak yang kuat terhadap kinerja perusahaan selam periode krisis di Asia Timur (tahun 1997 sampai dengan tahun 1998).Penelitian tersebut dilakukan dengan menggunakan sampel sebanyak 398 perusahaan yang berada di Indonesia, Korea, Malaysia, Pilipina, dan Tailand.Perusahaan dengan kualitas pengungkapan yang lebih baik, kepemilikan pihak eksternal yang lebih terkonsentrasi, dan perusahaan yang lebih terfokus (dibandingkan dengan yang terdiversifikasi) memiliki kinerja pasar yang lebih baik.
Beberapa penelitian lain lebih menitik beratkan pada salah satu komponen dari corporate governance.Shivdasani (1993) melakukan penelitian yang bertujuan untuk menguji apakah perbedaan dalam struktur dewan direksi (dewan direksi dan komisaris untuk Indonesia) dan kepemilikan ekuitas memiliki kontribusi terhadap kemungkinan perusahaan untuk diakuisisi (hostile takeover).  Hasil penelitian menunjukkan bahwa karakteristik dewan direksi dan struktur kepemilikan merupakan determinan yang signifikan terhadap kemungkinan suatu perusahaan menjadi sasaran target akuisisi.  Bukti penelitian menunjukkan bahwa komisaris independen dari perusahaan target lebih terbatas untuk secara aktif memonitor perilaku manajemen dibandingkan yang terjadi di perusahaan non target.
          Dengan melakukan  meta-analisis, Dalton dkk.(1999) menemukan adanya hubungan sistematik antara ukuran dewan direksi dan kinerja perusahaan.  Penelitian ini menggunakan sampel sebanyak 20.620 perusahaan dari sampel sebanyak 131 penelitian.Dalton dkk juga melakukan analisis dengan menggunakan variabel mederasi ukuran perusahaan dan komposisi dewan direksi (mengukur independensi dari dewan).Hasil penelitian menujukkan bahwa hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan lebih kuat untuk perusahaan-perusahaan kecil.Namun demikian, penelitian mereka tidak berhasil menemukan bahwa komposisi dewan direksi sebagai variabel pemoderasi hubungan antara ukuran dewan direksi dengan kinerja perusahaan.  Dalton dkk., juga menujukkan bahwa tidak ada perbedaan hasil antara dua jenis ukuran kinerja, yaitu ukuran kinerja yang berbasis akuntansi dan ukuran kinerja yang berbasis pasar.
Hipotesis penelitian ini bisa dinyatakan dalam bentuk hipotesis alternatif sebagai berikut:
“Terdapat hubungan positif antara penerapan corporate governance dengan kinerja perusahaan.”

 





Comments

Popular posts from this blog

Arti Lirik Lagu Complicated – Dimitri Vegas dan Terjemahan

Maroon 5 Lyrics "She Will Be Loved" lirik

SOAL LATIHAN CHAPTER 1 : PERSAMAAN DASAR AKUNTANSI