IMPLIKASI STRATEGI PEREKAYASAAN AKUNTANSI MANAJEMEN
IMPLIKASI STRATEGI
PEREKAYASAAN AKUNTANSI MANAJEMEN
PEMBAHASAN
Pengertian
Akuntansi merupakan salah satu disiplin ilmu yang bersifat esensial. Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai
informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat
keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan,
organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi seni dalam mengukur,
berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan dalam perusahaan.
Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa bisnis".[1]
Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar
dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan pihak
berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik.
Pencatatan harian yang terlibat dalam proses ini dikenal dengan istilah
pembukuan
Sedangkan karbon adalah zat arang yang merupakan unsur kimia yang mempunyai
simbol C dan nomor atom 6 pada tabel periodik. Karbon memiliki
beberapa jenis alotrop, yang paling terkenal adalah grafit, intan, dan karbon amorf.
Jadi, terkait dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan
era baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi
karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost
management, penerapan Carbonaccounting jugaakan berimplikasi secara luas
pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama
bagi negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era
Carbonomics.
Protocol
Kyoto
Protokol Kyoto, dalam salah satu pasalnya, menyatakan pentingnya merubah
perilaku hidup menuju konsep ekonomi lingkungan. Diakui atau tidak, sekarang
ini aktifitas ekonomi dan konsumsi manusia telah menjadi faktor utama penyebab
adanya global warming. Implikasi selanjutnya dari pemanasan global
tersebut adalah meningkatnya suhu rata-rata bumi yang dapat berdampak pada
aspek sosial budaya secara serius jika tidak segera ditangani. Protokol Kyoto
adalah sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB tentang Perubahan
Iklim (UNFCCC), sebuah persetujuan internasional mengenai pemanasan global.
Negara-negara yang meratifikasi protokol ini berkomitmen untuk mengurangi
emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca lainnya, atau bekerja
sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau menambah emisi
gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global. Jika sukses
diberlakukan, Protokol Kyoto diprediksi akan mengurangi rata-rata cuaca global
antara 0,02°C hingga 0,28°C pada tahun 2050.
Pengaruh dampak global warming terhadap kehidupan manusia telah memunculkan serangkaian
tindakan serius dari masyarakat dunia guna melakukan upaya pencegahan efek global
warming secara lebih luas. Protokol Kyoto, yang telah ditanda tangani dan
diratifikasi oleh sebagian besar negara-negara di dunia tersebut merupakan
kunci perubahan bagi masyarakat dunia. Dalam protokol dinyatakan bahwa
pemerintah negara-negara pe-ratifikasi, perusahaan-perusahaan dan konsumen
harus segera melakukan upaya perubahan perilaku menuju konsep ekonomi baru,
yaitu, era ekonomi lingkungan, yang oleh Ratnatunga (2007)
dinyatakan sebagai “Carbonomics”.
Gagasan era Carbonomics akan mampu menjadi motor penggerak perlindungan
lingkungan dan penyelamatan dunia
dari persoalan peningkatan pemanasan global. Implikasidari penerapan konsep
Carbonomic akan berakibat pula pada perkembangan sosial budaya, profesi, model
ekonomi dan bahkan sampai pada model supply dan demand.Salah satu dari
rekomendasi Protokol Kyoto adalah diakuinya skema perdagangan Karbon. Model
perdagangan ini dapat digambarkan demikian: perusahan-perusahan awalnya
melakukan kesepakatan (dengan mediasi regulasi pemerintah) tentang seberapa
besar Carbondioksida (CO2) yang akan dihasilkan oleh produksi mereka (The
Cap). Jika perusahaan tertentu dalam memproduksi barang atau jasa
menghasilkan emisi CO2 kurang dari batas yang telah ditetapkan, mereka memiliki
nilai kredit, sebaliknya, jika perusahaan tertentu melebihi ambang ketetapan
emisi CO2, maka mereka dapat membeli kredit dari perusahaan yang memiliki emisi
dibawah ambang ketetapan (Ratnatunga, 2008). Jumlah batas akumulasi emisi
karbon dalam suatu wilayah tidak boleh melebihi jumlah batas akumulasi maksimal
yang telah ditetapkan (The Cap) (Ratnatunga, 2007).
Isu-isu tentang manajemen biaya karbon (carbon cost management) akan
berimplikasipada isu strategis lain terkait dengan akuntansi manajemen. Sekali
biaya carbon suatu produk
diketahui, berbagai isu strategis
dibidang akuntansi manajemen akan dapat dikembangkan. Dalam hal ini, termasuk
efisiensi emisi CO2 dalam penggunaan bahan baku, biaya tenaga kerja, biaya
overhead pabrik, biaya overhead lingkungan, serta isu-isu yang terkait dengan
manajemen biaya karbon, corporate governance, standar akuntansi karbon dan
strategi audit (Ratnatunga, 2007). Berbagai isu strategis lainnya juga dapat
dikembangkan seperti strategi pemasaran karbon, strategi harga dan pemodelan demand
atas kredit emisi karbon.
Terkait dengan bidang akuntansi, carbon cost management merupakan era
baru gagasan transaksi ekonomi berbasis ekologi, yang dinamakan akuntansi
karbon (Carbonaccounting). Sebagaimana implikasi dari konsep carbon cost
management, penerapan Carbonaccounting juga akan berimplikasi secara luas
pada profesi dan isu-isu strategis akuntansi manajemen karbon, terutama bagi
negara maju yang telah menerapkan konsep perdagangan karbon dalam era
Carbonomics.
Namun proses akulturasi sikap dan
perilaku ekonomi berbasis ekologi tidak serta merta dapat berlaku dalam suatu
wilayah akuntansi sosial, atau memberi efek spektrum yang begitu luas pada
bidang lain. Akulturasi tersebut membutuhkan kesiapan pengetahuan, teknologi,
justifikasi hukum dan terutama kesadaran konvensional dalam praktik bisnis.
Oleh karena itu, dalam tahap awal perkembangan era Carbonaccounting (Akuntansi
Karbon) di negara berkembang, khususnya di Indonesia, dibutuhkan seperangkat
perekayasaan akuntansi manajemen sebagai stimulan bagi aplikasi model
Carbonacounting. Terkait dengan hal tersebut, maka masalah yang perlu dikaji
adalah sejuah mana aplikasi Carbonaccounting tersebut didukung oleh kesiapan
dan kemauan untuk mengembangkan berbagai isu strategis dan perekayasaan
dibidang akuntansi manajemen. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi
sejauh mana faktor-faktor isu strategis akuntansi manajemen memberi dampak pada
paradigm Carbonaccounting.
Carbonomics
Salah satu rekomendasi dari Protokol Kyoto adalah sistem ambang emisi dan
perdagangan karbon. Perusahaan
membutuhkan pemikiran dan tekhnologi baru untuk
mengimplementasikan gagasan
perdagangan karbon dibawah Protokol Kyoto. Isu pokok dalam perdagangan karbon
ini adalah jumlah karbon yang dapat dirasionalisasi dan model pasar perdagangan
karbon yang dapat mempengaruhi strategi bisnis, kinerja keuangan dan nilai
perusahaan. Untuk dapat mengarah pada gagasan perdagangan karbon, dibutuhkan
pemahaman yang baik tentang elemen-elemen akuntansi bisnis dan keuangan,
seperti permodalan, permintaan dan penawaran kredit karbon, nilai bisnis
manejemen resiko, alokasi modal, dan bahkan jika mungkin adalah standar
pelaporan keuangan yang secara khusus terkait dengan transaksi karbon. Sebagai
tambahan, isu – isu tentang pajak yang terkait dengan pajak emisi karbon dan
implikasi transfer harga perdagangan karbon perlu untuk diperhatikan.
Sekarang ini, di Eropa, fokus utamanya adalah laporan keuangan dan perpajakan.
Sedikit sekali yang memfokuskan dalam hal profesi akuntansi yang terkait dengan
akuntansi manajemen strategis termasuk penilaian pasar dan isu – isu tentang
manajemen kinerja. Isu yang terkait dengan manajemen biaya karbon (Carbon Cost
Management) utamanya terkait dengan apakah pelaporan biaya karbon bersifat
mandatory atau voluntary, yang dalam hal tertentu sangat tergantung pada
kompetisi industri suatu negara. Ketidak seimbangan dalam konsumsi sumber –
sumber ekonomi dalam perspektif keberlanjutan lingkungan tidak hanya disebabkan
oleh perspektif ekonomi semata tetapi rendahnya tingkat kesadaran untuk
melakukan tindakan pencegahan Global Warming.
Ada lima gas yang dapat menyebabkan efek global warming yaitu Carbondiokside,
metan, nitrous oxide, sulfur
heksaflouride, dan HFC.
Protokol Kyoto membatasi keberadaan gas tersebut diudara terutama
karbondioksida (Carbondiokside) yang terkait langsung dengan
aktivitas ekonomi dan manusia.
Terkait dengan kegiatan ekonomi, Protokol Kyoto memberikan batasan investasi
tekhnologi emisi CO2 yang rendah, perhitungan biaya dalam harga pokok produksi
dan pembebanan biaya emisi karbon kepada pelanggan berdasar regulasi.
Ratnatunga (2007) telah melakukan penelitian yang melibatkan 638 responden dari
11 negara. Penelitian yang dimulai tahun 2003 hingga awal 2007, menghasilkan
berbagai gagasan segar terkait dengan pengurangan karbon bagi entitas bisnis
dan perseorangan serta isu – isu strategis dibidang akuntansi manajemen terkait
dengan manajemen karbon (sebagian ditampilkan dalam Tabel 1).
Carbonaccounting (juga Paradigma
Carbonaccounting) dan Faktor-Faktor Strategis Akuntansi Manajemen
Terkait dengan gagasan Carbonomics, dampak gagasan tersebut telah merambah di berbagai
macam profesi, diantaranya adalah profesi akuntansi. Hal ini karena bidang
akuntansi, terutama akuntansi manajemen, keuangan dan audit baik langsung
ataupun tidak langsung terkena dampak dari era carbonomics tersebut. Dalam
terminologi akuntansi, Carbonomics memberi dampak pada Carbonaccounting.
Pada tahapan selanjutnya, era Carbonacccounting akan berkembang jika
didukung oleh berbagai sistem dan perekayasaan akuntansi yang memadai. Pada era
Carbonaccounting, sebuah gagasan untuk menghubungkan produk dengan
efisiensi CO2 perlu mendapat dukungan dan perhatian secara serius, sebab satu
gagasan dalam efisiensi emisi CO2 adalah satu tindakan dalam penyelamatan
dunia. Inilah makna penting Paradigma Carbonaccounting dalam
pengembangan profesi dan perekayasaan akuntansi dalam situasi dunia yang tengah
dilanda kecemasan akibat global warming.
Kunci utama dalam Carbonaccounting adalah efisiensi emisi gas rumah kaca,
khususnya CO2 (gas terbesar yang dihasilkan oleh aktifitas manusia), yang
terkait dengan proses produksi maupun penyediaan barang dan jasa. Oleh karena
itu, pengendalian emisi CO2 merupakan faktor kunci. Jika mekanisme perdagangan
karbon dalam Protokol Kyoto disepakati dalam suatu negara maka kejelasan
tentang sistem perdagangan karbon, penyerapan emisi karbon serta batas emisi
karbon harus tertuang secara jelas dalam sebuah perundangan. Dorongan untuk
mencapai paradigma Carbonaccounting juga akan semakin jelas terwujud
jika capaian minimalisasi global warming dan perubahan perilaku (cukture)
dapat terukur secara jelas.
Paradigma Carbonaccounting akan didukung oleh dunia praktik akuntansi
jika berbagai instrumen strategis yang melingkupinya telah siap. Mencermati
berbagai isu dalam editorial Ratnatunga (2007, 2008), dapat dirangkum berbagai
faktor terkait dengan kebutuhan instrument strategis akuntansi manajemen.
Paradigma Carbonaccounting dan standar akuntansi karbon
Standar akuntansi karbon merupakan isu strategis yang diduga mampu mendorong paradigma
Carbonaccounting. Standar akuntansi karbon, selain sebagai pijakan
transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan manajemen karbon, juga menjadi
dasar bagi pengambilan keputusan terkait dengan biaya produksi berbasis
efisiensi emisi karbon. Karena batas wilayah pencemaran emisi karbon dalam
ruang udara bersifat semu, maka standar akuntansi karbon juga harus mengatur
tentang biaya litigasi dalam sengketa perdagangan karbon. Semakin transparan
dan akuntabel standar karbon akan semakin mendorong perubahan paradigma
manajemen menuju Carbonaccounting.
Paradigma Carbonaccounting dan sistem kontrol manajemen
Sistem kontrol manajemen (SKM) merupakan terminologi yang sangat luas, yang
meliputi sistem akuntansi manajemen
(SAM) dan juga sistem kontrol yang lain seperti personal control ataupun
clan control. Sementara itu SAM didefinisikan sebagai praktik-praktik
akuntansi manajemen seperti budgetting, yang digunakan secara
sistematis untuk mencapai tujuan perusahaan (Chenhall, 2003). Beberapa
penggagas teori (teorists)seperti Burn, Stalker, Perrow, dan
Thompson (dalam Chenhal, 2003) menyatakan pentingnya fokus studi terhadap
hubungan antara teknologi dengan struktur organisassi. Identifikasi
terhadap variabel kontekstual yang secara potensial berimplikasi
terhadap efektifitas desain SKM dapat didekati dari perspektif teori
contingency. Hasil-hasil penelitian yang lalu menunjukkan ada hubungan
antara kondisi lingkungan organisasi dengan SKM.
Terkait dengan era karbon, SKM sebuah perusahaan seharusnya didesain untuk
menopang paradigma carbonaccounting.
Dalam hal ini, dua aspek penting SKM adalah,
pertama, perilaku manajemen dalam
mencapai target efisiensi karbon. Tanpa perubahan perilaku manajemen dalam
level personal, sistem perusahaan tidak akan mampu menopang gagasan paradigma carbonaccounting.
Kedua, sistem informasi reward dan punishment di lingkungan
manajemen dalam mencapai efisiensi karbon. Ketersediaan sistem tersebut
akan memicu akuntabilitas manajerial dalam efisiensi karbon, sebagai bagian
dari tanggungjawan social perusahaan dalam menyelamatkan dunia dari ancaman global
warming.
Paradigma Carbonaccounting dan manajemen produksi
Penelitian Ratnatunga (2007) yang dilakukan sepanjang tahun 2003 hingga 2007
juga menyimpulkan faktor-faktor penting yang terkait dengan manajemen efisiensi
karbon dalam produksi, seperti manajemen bahan baku (limbah produksi), biaya
overhead pabrik (BOP) konvensional (diantaranya marketing, trasportasi bahan
baku, depresiasi mesin), BOP lingkungan (diantaranya biaya regulasi, recycling,
amortisasi biaya desain), tenaga kerja (etos kerja berbasis efisiensi karbon),
dan aspek pembiayaan (stock holding costs, debitors costs, dan carbon tax).
Mendasarkan pada aspek-aspek produksi tersebut, manajemen produksi harus melingkupi
standard teknis produksi berbasis efisiensi CO2, efisiensi bahan baku dan waktu
produksi. Semakin jelas tolok ukur manajemen produksi berbasis ekologi maka
semakin jelas pula pula arah perubahan paradigma akuntansi manajemen
menuju Carbonaccounting.
Paradigma Carbonaccounting, Corporate Governance dan Strategi Audit
Corporate governance merupakan
isu strategis dibidang akuntansi manajemen. Tidak saja karena meningkatnya
pasar uang secara global, pertumbuhan perusahaan mutinasional dan perkembangan
ekonomi kawasan, namun corporate governance dibutuhkan dalam situasi mengatasi
tumbangnya berbagai perusahaan raksasa kelas dunia (Subramanian, dan Janek
Ratnatunga (2003)). Lebih jauh, Ratnatunga dan Muhamed Ariff (2005) menyatakan
bahwa perhatian terhadap corporate governance terutama dimotivasi oleh
kepentingan publik dalam hal kesehatan ekonomi perusahaan dan ekonomi sosial secara
keseluruhan.
Dalam perspektif paradigma carbonaccounting, dimensi penyelamatan
ekologi adalah faktor penting dalam keberlanjutan ekonomi negara, bahkan dunia.
Oleh karena itu, paradigm carbonaccounting harus didukung oleh corporate
governance yang melingkupi kesehatan dan keberlanjutan ekonomi sosial.
Faktor penting implementasi carbonaccounting dalam perspektif corporate
governance adalah adanya jaminan dari institusi (profesi atau institusi
hukum) tentang akuntabilitas dan transparansi pelaporan manajemen karbon oleh
perusahaan. Dua aspek tersebut memberi dukungan pada keberlanjutan ekologi dan
ekonomi sosial secara keseluruhan, sebagai tujuan utama dalam efisiensi karbon.
Lebih jauh, guna mendukung implementasi akuntabilitas dan transparansi
manajemen
karbon secara independen, dibutuhkan
perekayasaan audit karbon pada tingkat lanjut. Teknik audit karbon tersebut
untuk mengaudit secara obyektif terhadap jejak rekam produksi yang menghasilkan
emisi karbon, yang meliputi bagian produksi, pemasaran, persediaan bahan baku,
investasi mesin, praktik SDM dan brand image perusahaan dalam akuntabilitas
efisiensi karbon.
Kaitannya
dengan Manajemen Produksi
Manajemen produksi sebagai bagian penting efisiensi emisi karbon, juga memegang
peran dalam dalam era carbonacconting. Efisiensi waktu dan bahan baku
produksi secara nyata telah mengurangi proses pembakaran dalam proses produksi
dan mengurangi kebutuhan energy batu bara yang secara potensial menghasilkan CO2.
Efisiensi emisi CO2 dengan demikian harus memperhatikan dua faktor tersebut
disamping faktor standard teknis produksi berbasis efisiensi emisi, guna
mencapai paradigma carbonaccounting.
Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, bahwa Corporate Governance dalam hal
jaminan adanya institusi negara / regulator merupakan aspek penting dalam
akuntabilitas dan tranparansi manajemen efisiensi karbon. Ratnatunga dan
Mohamed Ariff (2005) mengilustrasikan bahwa Corporate Governance merupakan
sistem yang secara evlosuioner telah merambah di setiap negara guna mengatasi
krisis sistemik yang melanda perusahaan di negara bersangkutan. Global warming
merupakan indikasi krisis lingkungan yang secara sistemik dapat
berimplikasi pada aspek ekonomi dan sosial suatu negara, bahkan dunia.
Mendasarkan perspektif keberlanjutan lingkungan dan ekonomi tersebut, faktor Corporate
Governance merupakan variabel potensial dalam era carbonaccounting.
Guthrie (1996) menyatakan bahwa perusahaan sektor publik, baik swasta maupun
badan usaha milik negara, dewasa ini sedang mengalami tekanan dari berbagai
pihak untuk mengungkapkan informasi yang terkait dengan lingkungan. Bahkan
beberapa pihak telah
meminta dilakukannya penelitian
secara mendalam guna pengungkapan informasi lingkungan dalam annual report.
Namun beberapa kalangan profesional dan praktisi perusahaan hingga sekarang
masih kesulitan menemukan bentuk baku tentang pelaporan lingkungan tersebut.
Lebih jauh, Larrinaqa, et al., (2002) menunjukkan bahwa pelaporan lingkungan
secara mandatory merupakan salah satu cara untuk meningkatkan akuntabilitas
sosial perusahaan. Namun suatu standar yang ditetapkan harus mampu mengcover
kepentingan stakeholders dan memperkuat akuntabilitas perusahaan
secara obyektif. Berangkat dari fakta obyektifitas dan sulitnya menemukan
bentuk baku model pelaporan lingkungan tersebut, perusahaan sampel nampaknya
memiliki respon yang sama dalam memahami desain pelaporan akuntansi karbon.
Implikasi darihal tersebut adalah bahwa standar akuntansi karbon dianggap
sebagai faktor yang menyulitkan dalam mengekspresikan pertanggungjawaban
efisiensi emisi karbon, apalagi jika standar tersebut menetapkan pelaporan
manajemen karbon sebagai hal yang bersifat mandatory. Oleh karena itu
responden merespon secara negatif faktor kebutuhan terhadap standar akuntansi
karbon.
Strategi audit (karbon), seharusnya merupakan instrumen penting dalam menyikapi
paradigma carbonaccounting. Namun faktor strategi audit dalam penelitian
ini bukan merupakan hal signifikan sebagai prediktor paradigma carbonaccounting.
Hal ini dikarenakan bahwa sebenarnya strategi audit merupakan implikasi dari
paradigma carbonaccounting. Artinya, bahwa pada tahap awal perkembangan
era carbonaccounting strategi audit bukan faktor utama dalam desain
akuntansi manajemen. Strategi audit lebih mencerminkan kepentingan dimasa
datang dibanding kepentingan sekarang dalam tahapan paradigma carbonaccounting.
Kaitan Global
Warming dengan Carbon Accounting
Isu-isu tentang global warming dan perdagangan karbon, serta pengaruh keduanya
terhadap terhadap profesi akuntansi
telah menjadi diskusi serius yang diselenggrakan oleh ICMA (Institute of
Certified Management Accountants), dengan mediator Janek Ratnatunga,
peneliti senior dari organisasi tersebut. Serangkaian diskusi yang dilakukan di
Australia (8 kali), Kanada (4), India (1), China (1), Lebanon (2), Philipina
(1) Papua Nugini (2), Indonesia (4), Sri Lanka (4), Malaysia (2), Singapore
(1), dan United Arab Emirates (1) menghasilkan temuan penting terkait dengan
dampak penerapan perdagangan karbon terhadap profesi akuntan, cost dan revenue
(biaya produksi), serta isu strategis carbon cost management (Ratnatunga,
2007).
Diskusi tersebut mengasumsikan bahwa era carbonomics telah berlaku dan
selanjutnya adalah mendeskripsikan model isu-isu strategis, terutama bidang
akuntansi manajemen, yang mungkin terkena dampak penerapan konsep karbon tersebut.
Sebaliknya, jika seandainya era carbonomics merupakan sutau keharusan, maka
faktor-faktor atau isu-isu penting yang terkait dengan Carbonomics harus dapat
dieksplorasi secara cermati. Penelitian ini mendasarkan pada analogi asumsi
tersebut, sebagai sebuah kajian eksploratif yang hendak menginvestigasi
faktorfaktor penting sebagai pendorong implementasi penerapan Carbonaccounting
–terminologi khusus bidang akuntansi dalam konsep Carbonomics.
Isu-isu penting dalam diskusi dan hasil temuan para peneliti ICMA yang dianggap
penting adalah terkait dengan faktor
standar akuntansi karbon, yang meliputi pentingnya standar emisi, voluntary
atau mandatory pelaporan emisi karbon dan biaya litigasi; dan faktor system
kontrol manajemen yang meliputi cakupan sistem informasi dalam kerangka
perubahan perilaku menuju efisiensi karbon. Faktor ketiga, yaitu manajemen
produksi yang merupakan faktor yang secara langsung terkait dengan produksi
suatu produk yang menghasilkan emisi karbon, dan pengurangan waktu. Ketiga
faktor tersebut terkait dengan strategi sistem akuntansi manajemen karbon.
Faktor lain yang juga penting adalah strategi corporate governance atau yang
sering disebut sebagai faktor jaminan corporate governance, yaitu adanya
jaminan akuntabilitas dan transparasi dalam pelaporan dan manajemen karbon.
Faktor lain, adalah dalam hal implementasi akuntabilitas yaitu faktor audit
yang terkait dengan teknik lebih lanjut tentang audit emisi karbon dalam
tahapan produksi, pemasaran, dan praktik-praktik SDM berbasis efisiensi karbon.
Keterbatasan
dan Implikasi Penelitian dimasa Datang
Penelitian ini memiliki keterbatasan dalam demografi obyek populasi, yaitu
dalam
lingkup Jawa Tengah. Obyek populasi
secara lebih luas (nasional) untuk perusahaan sektor publik perlu dikembangkan
dalam penelitiaan dimasa datang. Tidak adanya variabel kontrol, seperti
rasio-rasio keuangan dan size, menjadi pemicu adanya kemungkinan confounding
effect, terlebih lagi mengingat penelitian yang sekarang dilakukan bersifat
crossectional. Oleh karena itu, homogenitas obyek data dan penelitian longintudinal
dengan data pooled perlu ditekankan dalam penelitian berikutnya.
Fakta empirik standar akuntansi karbon dan strategi audit bukan sebagai
variabel
signifikan dalam penelitian
menujukkan bahwa standar akuntansi karbon dan bentuk baku pelaporan emisi
karbon masih dalam model yang abstrak. Oleh kerena itu penelitian dimasa yang
akan datang dapat lebih dikembangkan khususnya berkaitan dengan desain standar
akuntansi karbon dan model integrasi pelaporan emisi karbon dalam laporan
keuangan. Hal ini juga didukung oleh penelitian sebelumnya (Byod dan Spencer
Banzhaf, 2006 ; McCright dan Riley E. Dunlap; Caraiani, et al., 2009;
Yongvanich dan James Guthrie, 2006) yang menyatakan bahwa secara empirik model
pelaporan lingkungan yang terintegrasi dengan laporan keuangan dalam annual
report hingga sekarang masih dalam nuansa perdebatan.
Peran
Akuntansi Karbon
Mengacu pada
'Penggunaan Lahan, Perubahan Penggunaan dan Kehutanan'
'Hutan non-Kyoto' memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4 untuk membantu dalam
memenuhi target Kyoto. Dengan kata lain, tepat "modalitas, aturan dan
pedoman bagaimana dan yang tambahan kegiatan manusia "yang memenuhi syarat
berdasarkan Pasal 3.4, yang belum ditentukan.
Dalam laporan khusus disiapkan oleh IPCC (2000), disarankan bahwa mungkin ada
tiga kemungkinan hasil dari pertemuan COP masa depan sehubungan dengan Pasal
3.4. Hasil pertama mengusulkan bahwa tidak ada kegiatan tambahan akan memenuhi
syarat berdasarkan Pasal 3.4, hanya menyisakan kegiatan di bawah Pasal 3.3
berlaku untuk Protokol Kyoto. Hasil kedua pertemuan COP masa depan mungkin
bahwa seperangkat terbatas kegiatan yang disetujui akan memenuhi syarat
berdasarkan Pasal 3.4. Hasil ketiga mungkin bahwa berbagai pilihan 'tambahan
kegiatan manusia 'akan memenuhi syarat berdasarkan Pasal 3.4.
Disini, utama lain hasil definisi muncul. Dengan mengadopsi definisi yang
sangat luas dari 'tambahan kegiatan ', Pasal 3.3 dan 3.4 bisa dasarnya dikombinasikan
dalam kerangka tunggal. Ini adalah apa yang disebut 'hutan yang dikelola'
pendekatan, diadopsi oleh negosiator dari Canada42 di memimpin COP ke-6 (IISD,
2000). Pada dasarnya, ini berarti bahwa para negosiator Kanada akan ingin
melihat definisi 'reboisasi' untuk memasukkan regenerasi setelah panen (yaitu,
Definisi FAO reboisasi), memberikan panen yang dicatat dengan definisi
'deforestasi' (NCCS, 1999). Dengan kata lain, hutan RAD Kyoto akan dimasukkan
sebagai komponen dari 'hutan yang dikelola', dan Pasal 3.3 dan 3.4 akan
dikombinasikan. Dalam skenario ini, pendekatan 'Full Carbon Accounting' akan
diadopsi, di mana semua sumber karbon dan fluks dalam ekosistem hutan akan
diperhitungkan (Jonas dkk., 1999b).
Konsep
Akuntansi Karbon Penuh (FCA)
FCA berikut - secara konsisten - konsep-sistem karbon penuh. Dalam studi ini,
FCA adalah anggaran karbon lengkap yang mencakup dan mengintegrasikan semua
(terkait karbon) komponen dari semua ekosistem darat dan diterapkan secara
terus menerus dalam waktu (masa lalu, sekarang dan masa depan). Kita berasumsi
bahwa komponen dapat digambarkan dengan mengadopsi konsep pools2 dan fluks
untuk menangkap fungsi mereka. Waduk mungkin alam atau manusia-dampak dan
internal atau eksternal terkait dengan pertukaran karbon (serta hal-hal lain
dan energi) [cf juga Steffen et al. (1998) dan Nilsson et al. (1999)].
Dasar Fisik
Dalam Bagian ini kita meninjau secara singkat dasar fisik balik penghitungan
karbon. Ini diperlukan untuk memahami konsekuensi bagi para praktisi yang
mencoba untuk menentukan anggaran karbon (lihat bagian 3.5). Hal ini juga
memungkinkan kita untuk menganalisis pertanyaan apakah atau tidak Pedoman IPCC
dapat berfungsi sebagai akuntansi utama dan sistem kepatuhan hukum untuk Kyoto Protocol.
Untuk tujuan diskusi kita, itu sudah cukup untuk mengadopsi konsep sederhana,
di mana kotak mewakili stok karbon atau reservoir (lihat Gambar 3.1). Kita bisa
membayangkan, karena cukup rendah-diselesaikan skala spasial dan temporal, siklus
karbon atas dasar mekanika kontinum dan memanfaatkan persamaan kontinuitas,
yang muncul dari dasar hukum kekekalan massa (dan menyatakan bahwa materi dapat
diciptakan maupun dihancurkan).
Latar
Belakang Ilmiah Kendali Karbon Akuntansi (FCA)
Bunga dalam sistem karbon telah meningkat karena peningkatan yang diamati dalam
tingkat CO2 di atmosfer (dari ~ 280 ppmv pada tahun 1800 untuk nilai sekarang
dari 365 ppmv) dan karena penandatanganan Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang
Perubahan Iklim telah memaksa negara-negara untuk menilai kontribusi mereka
terhadap sumber dan penyerap CO2 Dan untuk mengevaluasi proses yang
mengendalikan CO2 akumulasi di atmosfer (IPCC, 1995; Indermühle, 1999). Dalam
Bagian 3 dari laporan ini. (FCA) didefinisikan, dengan mempertimbangkan
konsistensi, dan dinilai dari perspektif yang berbeda, termasuk ketidakpastian.
Tujuan keseluruhan ini penilaian adalah untuk memberikan dasar untuk Bagian 4,
di mana kita menganalisis Protokol Kyoto dipertimbangan konsep FCA.
Tinjauan
Sistem Karbon
Atmospheric CO2 menyediakan hubungan antara geologi, biologi, fisik, dan
antropogenik proses. Karbon dipertukarkan antara atmosfer, lautan, biosfer
terestrial, dan litosfer. Pertukaran ini melibatkan beberapa reservoirs2 karbon
dengan berbeda kali turnover dan karbon flows2 di antara mereka. Proses
pertukaran dapat diilustrasikan dengan bantuan dari dua siklus saling
berhubungan, geologi dan siklus biologis. Itu siklus geologi meliputi komponen
paling lambat dari sistem, dengan omset kali diurutan ribuan tahun dan
seterusnya, sedangkan siklus biologis meliputi lebih cepat komponen, yang
memiliki omset kali di urutan puluhan hingga ribuan tahun. Alam Sistem karbon
didefinisikan oleh dinamika dari dua siklus, di bawah pengaruh eksternal
memaksa mekanisme dan tanpa adanya anthropgenic CO2 input ke atmosfer.
Pengukuran dari gelembung udara yang terperangkap dalam es di kutub menunjukkan
bahwa CO2 di atmosfer konsentrasi selama seluruh Holosen, yaitu, selama 8.000
tahun terakhir, adalah ~ 280 ppmv, menyiratkan bahwa sistem karbon alami berada
di atau dekat ekuilibrium selama periode ini.
Namun, pada skala waktu yang lebih lama, misalnya, selama periode glasial
terakhir sebelum Holocene, yang CO2 di atmosfer Konsentrasi ditemukan lebih
rendah oleh ~ 80 ppmv, yaitu pada ~ 200 ppmv. Ini fluktuasi alami ditandai
dengan lambat, transisi jangka panjang dan belum dipahami (IPCC, 1995; Heimann
et al, 1999;. Indermühle, 1999).
Kegiatan manusia telah mengganggu alam, keseimbangan geologi-biologis, pada
dasarnya melalui penggunaan karbon fosil dan gangguan ekosistem darat. (Gambar
3.1 menunjukkan cepat komponen sistem karbon. Ini adalah subsistem ini, juga
disebut siklus karbon global, yang Saat menerima perhatian khusus dari banyak
ilmuwan dan pembuat kebijakan berkat Konvensi.) Yang dihasilkan akumulasi CO2
di atmosfer telah menyebabkan sejumlah sistem karbon proses menjadi tidak
seimbang. Pembakaran bahan bakar fosil dan pembuatan semen, bersama-sama dengan
hasil hutan dan perubahan lain dalam penggunaan lahan, semua pengalihan karbon
(CO2 terutama sebagai) ke atmosfer. Ini masukan karbon antropogenik maka siklus
antara atmosfer dan komponen biosfir dari sistem, yaitu, lautan dan biosfer
terestrial. Karena bersepeda karbon di biosfer darat dan laut terjadi secara
perlahan, pada skala waktu dekade ke ribuan tahun, efek fosil tambahan dan
karbon biomassa disuntikkan ke dalam atmsophere adalah gangguan jangka panjang
dari sistem karbon (IPCC, 1995; Heimann et al,. 1999).
Comments
Post a Comment