REVISI KEYAKINAN ATAS SINYAL INFORMASI AKUNTANSI
Beliefs-Adjustment Theory
Beaver (1989) mendefinisikan
ke-yakinan sebagai komponen yang mengupas secara kritis dalam proses
pengambilan keputusan. Tingkat keyakinan menentukan perilaku pengambilan
keputusan. Peran infor-masi adalah merubah keyakinan. Perilaku pengambilan keputusan berubah ketika infor-masi baru
merubah keyakinan. Keyakinan investor tidak tampak. Harga saham di-pandang
sebagai penampakan proses keyaki-nan investor. Penggunaan laporan keuangan oleh
investor sebagai pemegang saham kon-sisten dengan orientasi pengguna utama
laporan keuangan menurut FASB (1978).
Teori yang menggagas tentang revisi
keyakinan dikemukakan oleh Hogarth dan Einhorn’s (1992) tentang teori
penyesuaian keyakinan (beliefs-adjustment
theory) yaitu investor melakukan revisi keyakinan menge-nai harga saham
ketika menerima informasi dalam bentuk deviden dan laba kejutan (earnings surprises). Asumsi teori adalah
individu memproses informasi secara ber-urutan dan mempunyai keterbatasan
kapasitas memori. Individu merubah keyakinannya melalui suatu urutan proses anchoring and adjustment. Keyakinan sekarang bermanfaat sebagai keyakinan awal yang kemudian akan disesuaikan. Revisi
keyakinan menjadi keyakinan awal baru dan proses ini terjadi
terus-menerus secara berurutan.
Teori ini memprediksi informasi
per-usahaan mempunyai sinyal yang berlawanan (good news diikuti dengan bad
news atau bad news diikuti dengan good news), perubahan informasi
akhir mempunyai pengaruh lebih besar pada pengembalian investasi daripada
informasi awal. Pengaruh ini disebut recency
effect. Tetapi, untuk informasi yang
konsisten (good news diikuti dengan good
news atau bad news diikuti dengan bad news), seluruh infor-masi mempunyai pengaruh yang sama besar
pada pengembalian investasi. Pengaruh ini disebut dengan no order effect. Pada dua pengaruh tersebut, investor akan bereaksi
secara berbeda terhadap perbedaan dua infor-masi. Disamping itu, teori ini juga
memper-timbangkan kekuatan keyakinan awal (anchor)
dan memprediksikan bahwa anchor yang
besar akan berkurang lebih banyak oleh informasi negatif daripada anchor yang kecil. Sebaliknya, anchor yang kecil akan meningkat lebih
besar oleh informasi positif daripada anchor
yang besar. Hal ini disebut anchoring
effect.
Hogarth dan Einhorn’s (1992)
mem-bagi dimensi revisi keyakinan dalam beberapa hal yaitu: 1) Proses
sekuensial adalah pemrosesan secara berurutan. Pengguna mengevaluasi sinyal
deviden dan laba kejutan yang diterima pada titik waktu yang berbeda. 2)
Kompleksitas tugas adalah evaluasi peng-umuman akan mengalami penurunan
penye-suaian bilamana informasi negatif dan se-baliknya mengalami peningkatan
penyesuaian bilamana informasi positif. 3) Panjang rang-kaian bukti transaksi, adalah merujuk pada jumlah bukti yang
dievaluasi dari informasi akuntansi secara keseluruhan dalam suatu kesatuan. 4)
Response mode adalah merujuk pada
prosedur evaluasi suatu bukti dengan cara step-by-step
dan end-of-sequence.
Revisi keyakinan memberikan
per-timbangan prediksi mengenai perilaku inves-tor dalam merespon informasi
keuangan (Scott, 2009), yaitu: 1) Investor mempunyai keyakinan awal tentang
pengembalian inves-tasi dan risiko saham perusahaan yang diharapkan. Keyakinan
ini didasarkan pada informasi yang tersedia di pasar. Meskipun mereka
mendasarkan pada informasi yang tersedia di pasar, tetapi keyakinan mereka
tidak sama karena perbedaan menempatkan informasi dan kemampuan interpretasi.
2) Setelah penerbitan net income
tahun berjalan, investor lebih tahu dengan menganalisa angka income. Misalnya, jika net income lebih tinggi dari yang diharapkan, maka menjadi good news.
Investor lainnya yang mempunyai harapan
tinggi betapa seharusnya net income
sekarang, menginterpretasikan net income
sebagai bad news. 3) Investor yang
telah merevisi kepercayaan mengenai profitabilitas pengembalian investasi di
masa datang lebih tinggi, cenderung membeli saham perusahaan dengan harga pasar
saat ini.
Manfaat
Informasi Akuntansi
Informasi akuntansi yang bermanfaat
harus mempunyai kualitas informasi relevan dan handal (Scott, 2009), mempunyai
nilai dalam menambah pengetahuan, menambah keyakinan mengenai profitabilitas
terealisasi-nya harapan dalam kondisi ketidakpastian; serta mengubah keputusan
atau perilaku para pemakai (Suwarjono, 2008). Financial Accounting Standard
Board (1980) menyusun karakteristik
standar kualitatif laporan melalui Standard
Financial Accounting Concepts No. 2
dan merupakan syarat yang harus dipenuhi agar tujuan informasi sesuai dengan
apa yang dinyatakan di dalam SFAC No 1 dapat ter-capai. Karakteristik kualitas
informasi akun-tansi harus memiliki nilai-nilai sebagai berikut: 1) Kualitas
Primer, Kualitas utama yang membuat informasi akuntansi berguna untuk
pengambilan keputusan adalah relevan dan handal Relevan menunjukkan informasi
akuntansi harus dapat membuat perbedaan dalam suatu keputusan. Untuk menjadi
relevan, informasi akuntansi harus mempunyai nilai prediktif, nilai umpan balik
dan tepat waktu. Handal adalah informasi dapat diandalkan jika terbebas dari
kesalahan, penyimpangan, serta merupakan penyajian yang jujur. Supaya reliabel,
informasi akun-tansi mempunyai karakteristik dapat diperiksa,
kejujuran penyajian, dan netral. 2) Kualitas Sekunder, Informasi lebih berguna
jika mem-punyai karakteristik dapat dibandingkan dan konsistensi. 3)
Keterbatasan Laporan Keuangan, Informasi akuntansi bermanfaat jika harus
mencapai tingkat minimum dari relevan dan reliabilitas. Hal ini menunjukkan
suatu keterbatasan bagi manfaat informasi. Karakteristik keterbatasan adalah
biaya dan manfaat, serta
materialitas.
Persepsi
Risiko
Persepsi merupakan pandangan
indi-vidu dalam memahami obyek atau peristiwa melalui pancaindera yang
diperoleh dari pengalaman tentang obyek dengan menyim-pulkan informasi dan
menafsirkan pesan. Persepsi bersifat subyektif dan situasional sehingga sangat
mungkin memiliki perbedaan dengan persepsi individu lain terhadap obyek yang
sama (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995; Matlin, 1998; Robbins, 1996). Syarat
untuk membuat persepsi adalah adanya obyek yang dipersepsikan (fisik), alat
untuk mene-rima stimulus berupa alat indra (fisiologis), serta perhatian dalam
mengadakan persepsi (Walgito, 1997).
Risiko investasi didefinisikan
sebagai penyimpangan dari keuntungan yang diharap-kan. Karena ketidakpastian,
investor akan memperoleh pengembalian investasi di masa datang yang belum
diketahui nilainya (Hartono, 2008). Oleh karena itu resiko diper-sepsikan dari
pandangan orang tentang kemungkinan mendapatkan potensi paparan kerugian,
bahaya, dan kejahatan yang ber-hubungan dengan aktivitas khusus (Ricciardi,
2004). Untuk mengurangi resiko, pelaku harus mengenal jenis resiko dalam
investasi yang dikelompokkan oleh Jones (2002) sebagai berikut: 1) Risiko
sistematis (risiko pasar), Risiko pasar tidak dapat dihilangkan melalui
diversifikasi dalam portfolio. Nilai portfolio yang terdiversifikasi dengan
baik akan ber-fluktuasi dengan perubahan hasil pengem-balian pasar. Misal,
kenaikan inflasi yang tajam, resesi, kenaikan tingkat bunga, dan siklus
ekonomi. 2) Risiko tidak sistematis, Risiko spesifik bagi perusahaan yang men- cakup
kebijakan dan keputusan strategik, operasi, dan keuangan. Risiko ini berbeda
antar perusahaan sehingga memfokuskan pada dampak spesifik terhadap saham atau
sektor tertentu.
Riset akuntansi menyatakan informasi
akuntansi penting digunakan oleh investor individu untuk menilai resiko dan
membuat keputusan investasi. Informasi akuntansi menyediakan fundamental risiko
keuangan yang diukur dengan deviden
payout ratio, current ratio, asset
size, asset growth, leverage, variability in earnings, covariability in earnings,
dan capital structure (Beaver, dkk., 1989; Selvi, 2004). Risiko
keuangan fundamental menunjukkan informasi kinerja buruk, kesulitan keuangan,
dan perusahaan tidak berprospek sehingga nilai perusahaan menurun. Sehingga,
persepsi risiko dinyatakan sebagai pandangan individu mengenai risiko keuangan
fundamental yang mempengaruhi harga saham perusahaan.
Risiko dasar saham menurut analis
dalam situasi kompetitif adalah risiko pe-milihan saham (Selva, 2004). Risiko
pemilih-an saham adalah pengambilan saham yang memiliki penyimpangan
pengembalian inves-tasi yang merugikan (adverse
selection pengembalian investasi)
lebih rendah daripada rata-rata pengembalian investasi ukuran per-usahaan yang
sama, atau perusahaan dalam industri atau sektor yang sama. Koonce (2004)
mendefinisikan persepsi risiko sebagai pandangan individu mengenai seberapa
besar kemungkinan dirinya mengalami paparan risiko keuangan atas penggunaan
laporan keuangan. Persepsi risiko ini merupakan model terintegrasi yang
menggabungkan karakteristik risiko keperilakuan dengan risiko dalam teori
standar deviasi (probabilitas dan nilai harapan) yang berhubungan dengan
keuntungan dan kerugian. Premis
penelitian adalah persepsi pengguna laporan keuangan lebih baik dipahami dan
dijelaskan dengan memasukkan karakteristik risiko keperilakuan. Indikator model
terintegrasi untuk risiko keperilakuan adalah kekhawatiran, tidak dapat
dikendalikan, mengetahui serta, potensi terjadi (catastrophic potential). Sedangkan, indikator resiko
keuangan adalah loss outcome,
prob-ability loss, dan gain outcome. Penggabungan model ini mendapatkan dukungan empiris
dari ke dua karakteristik risiko.
Ketidakpastian
Lingkungan
Ketidakpastian lingkungan
didefinisi-kan Milliken dalam Rabin dkk. (2000: 204) sebagai rasa ketidakmampuan
seseorang untuk memprediksi lingkungan secara akurat. Se-seorang berada dalam
kondisi ketidakpastian bilamana seseorang merasa dirinya tidak memiliki
informasi yang cukup untuk mem-buat prediksi secara akurat, atau bilamana
seseorang merasa bahwa dirinya tidak mampu membedakan antara data yang relevan
dengan data yang tidak relevan. Miliken mengiden-tifikasi tiga tipe
ketidakpastian lingkungan yaitu: 1) Ketidakpastian
keadaan (state uncertainty).
Seseorang merasakan ketidak-pastian keadaan jika merasakan lingkungan
organisasi tidak dapat diprediksi, artinya seseorang tidak paham bagaimana
komponen lingkungan akan mengalami perubahan. Seorang manajer dapat merasa
tidak pasti ter-hadap tindakan apa yang harus dilakukan dalam menghadapi
dinamika para pemasok, pesaing, pelanggan, konsumen, atau merasa tidak pasti
terhadap perubahan lingkungan yang relevan, seperti perubahan teknologi,
budaya, dan demografi. 2) Ketidakpastian
pengaruh (effect uncertainty). Ketidakpastian ini berkaitan dengan ketidakmampuan se-seorang untuk memprediksi
pengaruh ling-kungan terhadap organisasi. Seorang manajer berada dalam
ketidakpastian bila merasa tidak pasti terhadap peristiwa yang berpengaruh
ter-hadap perusahaan (sifat), seberapa jauh peristiwa tersebut berpengaruh (kedalaman)
dan kapan pengaruh tersebut akan sampai pada perusahaan (waktu). Ketidakpastian
pengaruh atas peristiwa yang terjadi pada masa mendatang akan menjadi lebih
menonjol jika ketidakpastian keadaan lingkungan sangat tinggi di masa datang.
3) Ketidakpastian respon (respon
uncertainty). Ketidakpastian ini
berkaitan dengan usaha untuk memahami pilihan respon apa yang tersedia bagi
organisasi dan manfaat dari tiap-tiap respon yang akan dilakukan. Dengan
demikian, ketidakpastian respon didefinisikan sebagai ketiadaan pengetahuan
tentang pilihan respon dan ketidakmampuan untuk memprediksi konsekuensi yang
mungkin timbul sebagai akibat pilihan respon.
Dari ketiga tipe, ketidakpastian
keadaan merupakan tipe konseptual yang sesuai menggambarkan ketidakpastian ling-kungan.
Ketidakpastian lingkungan merupa-kan situasi di mana seseorang mengalami
hambatan untuk dapat memperkirakan dan memprediksi situasi di sekitarnya
sehingga melakukan sesuatu untuk menghadapi ketidakpastian tersebut. Individu
menghadapi keterbatasan dalam memperoleh informasi dari lingkungan. Sehingga,
tidak dapat mengetahui kegagalan dan keberhasilan ter-hadap hasil keputusan
yang telah dibuatnya.
Bagi organisasi, sumber utama
ketidakpastian berasal dari lingkungan. Ling-kungan yang tidak pasti meliputi:
politik, legal, ekonomi, teknologi, ekologi, demografi, konsumen, pemasok,
pesaing, pemerintah, pemegang saham, serta pihak yang berkepen-tingan lainnya
(Weber dalam Rabin, dkk., 2000: 219). Miles dan Snow dalam Rabin dkk. (2000:
205) menyatakan bahwa pemasok, pelanggan, pesaing, pemerintah, serikat buruh,
pasar uang adalah sumber utama dari ketidak-pastian. Sementara Gordon dan
Narayanan dalam Rabin (2000: 205) menemukan bahwa sumber ketidakpastian adalah
ekonomi, hukum, politik, teknologi, persaingan, pelang-gan, dan lingkungan
industri.
Subyektifitas
Pengembalian Investasi
Setiap investor mempertimbangkan investasi sebagai kombinasi
dalam portfolio yang menawarkan ekspektasi pengembalian investasi yang lebih
tinggi pada tingkat risiko yang diinginkan (Markowitz, 1952). Kom-binasi
investasi dalam portfolio mensyaratkan investor memikirkan diversifikasi dan
mem-pertimbangkan tiga karakteristik penting dari tiap investasi, yaitu
parameter pengembalian investsi yang diperkirakan dan serta tingkat risiko, pengujian risiko dan pengembalian
investasi, dan korelasi antar
pengembalian investasi dari tiap investasi. Hal ini menun-jukkan individu
membuat keputusan rasional untuk memaksimalkan kesejahteraan dalam
ketidakpastian (Nofsinger, 2005).
Pengembalian investasi merupakan
hasil yang diperoleh dari investasi (Hartono, 2008). Pengembalian investasi
dapat berupa pengembalian investasi realisasi yang sudah terjadi, atau
pengembalian investasi ekspektasi yang belum terjadi tetapi yang diharapkan
akan terjadi di masa mendatang. Dibawah asumsi pasar modal efisien bebas dari borrowing dan lending, subyektifitas pengem-balian investasi diukur sama dengan
tingkat bunga pasar setelah pajak. Hal ini terjadi karena ketidaksesuaian
antara tingkat bunga pinjaman dengan simpanan yang menyebab-kan kesempatan yang
berubah-ubah bagi konsumen.
Pertimbangan pokok investor adalah
bagaimana mengelola penghasilan serta mem-belanjakannya (Wahlund dan Gunnarsson
dalam Altman, 2006). Ketidakseimbangan tersebut akan membawa perilaku investor
untuk menabung, investasi, ataupun memin-jam uang guna memperoleh manfaat yang
optimal atas penghasilan. Sikap investor yang menahan konsumsi saat ini
mengharapkan menerima pengembalian investasi yang lebih besar di masa datang.
Sebaliknya, investor yang melakukan konsumsi atau investasi melebihi
penghasilan sekarang harus mengembalikannya di masa datang dengan jumlah uang
yang lebih besar. Bila pem-bayaran dimasa datang tidak menentu, inves-tor akan
mensyaratkan pengembalian investasi yang lebih besar dari discounted interest rate ditambah tingkat inflasi saat itu.
Subyektifitas mengarah pada
pan-dangan individu yang melibatkan pengetahuan sebelumnya dalam memperoleh dan
meng-interpretasikan stimulus melalui pancaindra. Subyektifitas berkaitan dengan
investasi saham merupakan keinginan individu ber-dasarkan analisis yang sahih
memperoleh pengembalian investasi yang optimal baik yang berasal dari capital gain, deviden, atau keduanya
(Nofsinger, 2005). Sehingga, subyektifitas pengembalian investasi merupa-kan harapan individu untuk memperoleh pengembalian investasi
pada setiap investasi. Harapan tersebut diperoleh dari keputusan investasi yang
dibuat investor atau hasil rekomendasi dan nasehat analis keuangan dalam suatu
pemilihan saham berdasarkan preferensi investor (Snelbecker, dkk., 1990) untuk
memaksimalkan utilitasnya (Scott, 2009). Karena bersifat rasional, maka setiap
pengambilan keputusan investasi melakukan pemilihan dari berbagai alternatif,
pertim-bangan preferensi pengembalian
investasi, dan melakukan pengambilan keputusan untuk maksimalisasi
utilitas. Subyektif pengem-balian
investasi yang diinginkan investor dapat
dicapai pada perbedaan kapasitas pemahaman dan gaya pengambilan keputusan
investasi.
Hasil studi Eipsten (1975) serta
Chen dan Hsu (2005) membuktikan bahwa manfaat informasi akuntansi tidak
berpengaruh ter-hadap revisi keyakinan. Informasi tentang perusahaan memberikan
sumbangan lebih tinggi daripada informasi laporan keuangan dalam mengubah
keyakinan dan tindakan investor. Hal ini mengindikasikan pengguna bertindak
bodoh karena tidak dapat meman-faatkan, menganalisis, dan menginterpretasi-kan
informasi akuntansi sehingga tidak ber-guna dalam proses pengambilan keputusan.
Hasil studi Beaver (1989), Barberis
dan Thaler (2003), Eipstein (1975), Scott (2009), Easton dan Zmijewski (1989)
serta Stuerke (2005) menunjukkan manfaat infor-masi akuntansi berpengaruh
terhadap revisi keyakinan. Investor mempunyai keyakinan awal tentang saham dari
perusahaan yang ber-sangkutan. Dengan informasi baru yang di-terbitkan,
membantu dalam merubah keyakin-an awal yang sudah ditetapkan mengenai harapan
keuntungan yang diinginkan dan membuat pilihan yang secara normatif di-terima.
Hal ini menunjukkan pengguna men-dapatkan dan memproses informasi secara benar.
Perubahan keyakinan diproksikan dari perubahan harga dan volume perdagangan
saham. Hasilnya informasi bermanfaat karena mendorong investor mengubah
keyakinan dan tindakannya.
Manfaat
informasi akuntansi berpengaruh terhadap revisi keyakinan.
Manfaat informasi akuntansi tidak
ber-pengaruh terhadap persepsi risiko dihasilkan dari studi Lambert dan
Verrechia (2005) dan Ferris dkk. (1990). Informasi akuntansi menunjukkan
kinerja, prospek, potensi risiko, dan nilai perusahaan tetapi informasi
tersebut tidak memberikan sikap positif atau negatif terhadap saham perusahaan.
Pengguna menunjukkan preferensi netral risiko. Hal ini menunjukkan bahwa pengguna mengurangi ketergantungan pada
kinerja perusahaan karena kurang pentingnya ukuran risiko akuntansi dan cenderung
melakukan per-dagangan spekulatif. Hasil studi berbeda ditunjukkan oleh Healy
dan Palepu (2001), Beaver dkk. (1970), Farelly dkk. (1985), Koonce dkk. (2004),
Capstaff (1992), Barth dkk. (2001), Lee (1999), Clarkson dkk. (1996). Pengguna
mempunyai keyakinan terhadap kondisi keuangan emiten sehingga mempunyai
persepsi berisiko atau tidak. Hal ini menunjukkan bahwa informasi akuntansi
merefleksikan ukuran persepsi risiko, mampu menjelaskan risiko melalui
penggabungan karakteristik keperilakuan dan risiko ke-uangan, serta
pengungkapan pelaporan menu-runkan asimetri informasi sehingga mening-katkan
permintaan saham emiten dan mening-katkan harga pasar sehingga mengurangi biaya
modal.
Berdasarkan kajian teori dan
empiris, hipotesis yang dikemukakan sebagai berikut: “Manfaat informasi akuntansi berpengaruh” terhadap persepsi risiko.
Hasil studi Banker dkk. (1993), Stain-bank dan
Peebles (2006), Eipsten (1975), Chen dan Hsu (2005), serta Campbell dan
Baranek’s (1995) menunjukkan pengguna mempunyai keyakinan yang rendah terhadap
informasi akuntansi sehingga tidak mem-peroleh pengembalian investasi yang
diingin-kan. Hal ini menunjukkan
kesalahan interpre-tasi deviden sebagai sinyal bad news karena ditafsirkan pasar sebagai pengurangan aktiva, operasi perusahaan terganggu, kinerja
per-usahaan akan memburuk, tidak memberikan pengaruh terhadap variasi
pengembalian investasi yang diinginkan, serta menyebabkan jatuhnya harga saham
pada waktu ex-dividend day.
Hasil studi berbeda ditunjukkan
Goodwin dkk. (1986), Barth dkk. (2001), Ball dan Brown (1968), Snelbecker dkk.
(1990), Gordon (1962), Beaver (1989), Beaver dkk. (1979), serta Esterbrook
(1984) bahwa manfaat informasi akuntansi berpengaruh ter-hadap subyektifitas
pengembalian investasi. Pengguna bersikap professional karena mampu melakukan
analisis informasi sebagai sinyal bernilai ekonomis dan mempunyai kemampuan
prediktif berkaitan dengan laba mendatang. Perwujudan nilai ekonomis adalah
memperoleh keuntungan dalam deviden sehingga menunjukkan citra dan kinerja per-usahaan
sehingga mudah mencari tambahan pendanaan. Berdasarkan kajian teori dan empiris
hipotesis yang dikemukakan sebagai berikut:
“Manfaat informasi akuntansi berpengaruh terhadap subyektifitas pengembalian
investasi”
Kajian persepsi risiko terhadap subyektifitas
pengembalian investasi hasilnya masih belum konsisten. Semakin tinggi persepsi
risiko terhadap saham semakin tinggi harapan untuk memperoleh subyektifitas
pengembalian investasi, dan
sebaliknya. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan timbul dari alasan menghindari
resiko dan menunjukkan investor tidak mendukung terhadap penerimaan risiko yang
tinggi. Investor menginginkan tingkat risiko tertentu dengan tingkat
pengembalian investasi yang tinggi serta investor menerima pengembalian
investasi yang lebih tinggi dari sebelumnya jika menanggung risiko yang lebih
tinggi. Model ini menunjukkan tipe investor yang rasional dan terlalu percaya
diri sehingga risiko tidak hanya relevan dengan ukuran risiko perusahaan tetapi
juga menaikkan peran laporan keuangan dalam manfaat pelaporan informasi risiko
(Fletcher, 2000; serta Daniel, dkk., 2001).
Hasil studi Chen dan Steiner (1999)
menyatakan variabel risiko mempunyai hubungan negatif terhadap kebijakan
dividen. Dengan tingginya risiko bisnis yang dihadapi oleh perusahaan akan
diantisipasi dengan kebijakan pembayaran dividen yang rendah. Dividen yang
rendah dapat digunakan untuk menghindari pemotongan dividen masa datang
sehingga alokasi sebagian keuntungan pada laba ditahan dapat digunakan untuk
investasi lebih lanjut.
Berdasarkan kajian teori dan empiris
hipotesis yang dikemukakan sebagai berikut: “Persepsi risiko berpengaruh terhadap subyektifitas pengembalian
investasi”.
Persepsi ketidakpastian lingkungan
mencerminkan pandangan individu tidak dapat memprediksi lingkungan secara
akurat (Miliken, 1987). Lingkungan ini tidak meng-untungkan dan dipandang
sebagai kondisi yang negatif dan penuh ketidakpastian yang berada di luar
kendali perusahaan. Lingkungan ini ditandai oleh iklim industri yang tidak
menentu serta persaingan yang ketat, per-ubahan yang mendadak dan
terputus-putus serta cepat dari sektor-sektor lingkungan. Dalam kondisi
ketidakpastian, peluang yang tersedia relatif sedikit. Pengguna mencermati
ketidakpastian lingkungan dengan mengum-pulkan informasi sebanyak-banyaknya
untuk mempredikasi lingkungan secara akurat. Karena saham terpengaruh risiko
pasar maka informasi eksternal harus dikuasai penuh untuk meminimalisasi
jatuhnya harga saham. Pengendalian dan perencanaan pengguna dilakukan untuk
reposisi saham sehingga ter-dapat saham yang dilepas dan saham yang tetap
dipilih. Akibatnya niat untuk pemilihan saham menjadi tinggi.
Hasil studi Kim dan Lim (1988), BEJ
(1997), serta Luo (1999) menunjukkan penga-ruh yang signifikan antara
ketidakpastian lingkungan dengan niat untuk melakukan pengambilan keputusan.
Semakin tinggi indi-vidu dapat memprediksi lingkungan secara akurat, semakin
tinggi niat untuk melakukan pengambilan keputusan. Hal ini menunjukkan bahwa
kondisi turbulensi pada pasar modal (bearish)
mengakibatkan kondisi keyakinan mulai menurun tetapi pelaku yang tidak
ter-pengaruh dengan kondisi apapun akan meng-ambil kesempatan dan peluang untuk
melaku-kan investasinya di pasar modal. Pelaku hanya memperkirakan berapa
keuntungan yang diharapkan dari investasinya, dan seberapa jauh kemungkinan
hasil yang sebenarnya nanti akan menyimpang dari hasil yang diharapkan. Kondisi
turbulensi dalam ekonomi akan merubah keyakinan pelaku pasar dalam melakukan
pengambilan keputusan investasi. Hal ini akan terjadi pada aktiva yang
berisiko. Pemahaman pengetahuan yang kuat tentang analisis investasi akan
memberikan pengertian dan penilaian kembali manfaat pengetahuan investasi dalam
memahami hal tersebut.
Berdasarkan kajian teori dan empiris
hipotesis yang dikemukakan sebagai berikut: “Ketidakpastian lingkungan berpengaruh terhadap revisi keyakinan.”
Estimasi pengembalian investasi
di-lakukan untuk mengetahui tingkat pengem-balian investasi dari asset yang bebas resiko maupun penentuan
pengembalian investasi dari aktiva keuangan yang berisiko. Tujuannya adalah
untuk membandingkan tingkat pengembalian investasi yang paling mengun-tungkan
antara aktiva bebas resiko dengan aktiva keuangan yang berisiko. Investasi yang
dipilih tergantung pada preferensi pelaku dan memilih sekuritas yang memberikan
pengem-balian investasi yang paling tinggi diantara keduanya. Hal ini
disebabkan karena pasar modal merupakan pasar yang penuh ketidak-pastian serta
saham merupakan instrumen keuangan yang sangat berisiko. Oleh karena itu,
individu menginginkan kompensasi dan insentif pengembalian investasi yang
seimbang karena kandungan risiko yang tinggi tersebut.
Hasil studi Wahlund dan Gunnarsson (1996), Nagy dan
Obenberger (1994), serta Antonides dan Van Der Sar (1989) menunjuk-kan bahwa
semakin tinggi niat untuk memilih saham maka semakin tinggi subyektifitas
pengembalian investasi yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa proses
pemilihan saham dipengaruhi oleh perbedaan kapasitas pemahaman dan tipe
pengambilan keputusan investasi sebagai penjelas subyektifitas pengembalian
investasi. Subyektifitas pe-ngembalian investasi ditentukan oleh pilihan pelaku
dengan preferensi yang berbeda terhadap pengembalian investasi dari tipe
investasi sehingga proses pemahaman akan bervariasi antara investor yang satu
dengan investor yang lain. Tujuannya untuk maksimalisasi utilitas sebagai
kriteria penting bagi investor.
Comments
Post a Comment