Kisah Perjalanan Bisnis Eka Tjipta Widjaja
Kisah
Perjalanan Bisnis Eka Tjipta Widjaja
Eka Tjpta
Widjaja merupakan satu dari deretan pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang
berhasil mencapai titik puncak bisnisnya. Pengusaha, pendiri, dan pengendali
Sinar Mas Group ini adalah orang pertama terkaya di Indonesia dengan kekayaan
mencapai 8,7 miliar Dolar Amerika Serikat menurut Majalah Globe Asia edisi
Bulan Desember 2012. Pada tahun 2011, ia berada di peringkat ke-3 orang terkaya
di Indonesia dengan total kekayaan 8 miliar Dollar Amerika Serikat versi
Majalah Forbes. Anaknya, Oei Hong Leong, merupakan orang terkaya ke-32 di
Singapura pada tahun 2013.
Masa kecil Eka Tjipta
Widjaja
Eka
lahir di Quanzhou, Fujian, Republik China, pada tanggal 3 Oktober 1923 dengan
nama Oei Ek Tjhong. Ketika berumur 9 tahun, ia bermigrasi ke Makassar, Sulawesi
Selatan. “Bersama ibu, saya ke Makassar pada tahun 1932 pada usia 9 tahun. Kami
berlayar tujuh hari tujuh malam. Lantaran miskin, kami hanya bisa tidur di
tempat paling buruk di kapal, di bawah kelas dek. Hendak makan masakan enak,
tak mampu. Ada uang lima Dollar, tetapi tidak bisa dibelanjakan, karena untuk
ke Indonesia saja kami masih berhutang 150 Dollar kepada rentenir,” tutur Eka mengingat
masa lalunya.
Setibanya
di Makassar, ia membantu ayahnya—yang sudah lebih dulu tiba—yang memiliki toko
kecil di sana. Dua tahun berlangsung, hutangnya pun lunas dan toko ayahnya
mulai berkembang. Karena hidup serba kekurangan, Eka hanya dapat bersekolah
hingga sekolah dasar. Lulus SD, ia harus membantu orang tuanya dengan
berjualan. Dengan sepedanya, Eka berkeliling kota Makassar menjajakan permen,
biskuit, dan berbagai macam barang lain dari toko ayahnya. Dengan modal ijazah
SD, Eka yang saat itu berumur 15 tahun mencoba mencari pemasok kembang gula dan
biskuit. Meskipun banyak yang menolak Eka, akhirnya ia mendapatkan pemasok yang
mau bekerja sama dengannya. Dalam waktu dua bulan, ia sudah mendapatkan laba
sebesar 20 Rupiah (saat itu 20 Rupiah sudah cukup besar, harga beras per
kilogramnya saja masih 3 atau 4 sen). Karena merasa bisnisnya berkembang, ia
membeli sebuah becak untuk memuat barang-barangnya.
Bisnis di era Jepang
Namun, lagi-lagi ia tertimpa musibah. Ketika usahanya sedang maju-majunya, Jepang datang—untuk menjajah—dan bisnis Eka pun hancur total. Ia menjadi pengangguran. Tabungan sebesar 2000 Rupiah miliknya pun akhirnya habis digunakan untuk keperluan sehari-hari. Ketika ia berjalan-jalan dengan sepedanya, ia melihat ratusan tentara Jepang dan tumpukan terigu, semen, dan gula yang masih dalam keadaaan baik. Melihat hal itu, Eka mendapatkan ide untuk membuka tenda jualan di Paotere (lokasi tersebut).
Keesokan harinya, ia sudah membawa kopi, gula, kaleng bekas minyak tanah yang diisi air, oven kecil berisi arang untuk membuat air panas, cangkir, sendok, enam ekor ayam yang ia masak, satu botol wiski, satu botol brandy, dan satu botol anggur. Selama beberapa jam, tidak ada seorang pun yang datang ke tendanya hingga akhirnya ia mentraktir bos tentara Jepang itu. Idenya tersebut berhasil dan bos tentara Jepang memperbolehkan anak buah dan tawanannya untuk datang ke tenda milik Eka. Eka juga meminta izin untuk mengangkat semua barang yang telah dibuang.
Dengan membayar anak-anak sekampung, mereka mulai mengangkat barang-barang yang sudah tidak terpakai untuk dibawa ke rumah Eka. Eka pun mulai memilih barang mana yang masih bisa dipakai dan dijual. Ia juga belajar bagaimana cara menjahit karung. Karena masih dalam suasana berperang, bahan bangunan dan bahan kebutuhan sehari-hari pun sangat sulit didapatkan. Keadaan ini tentu saja dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Eka. Ia menjual terigu dengan harga 50 Rupiah. Karena sangat dicari, ia dapat menjual satu karungnya hingga seharga 150 Rupiah. Begitu juga dengan semen yang berhasil ia jual dengan harga dua kali lpat dari harga yang ia tawarkan pertama kali.
Tidak puas dengan usahanya, Eka mulai mencari-cari peluang lain. Ia akhirnya beralih menjadi kontraktor pembuat kuburan orang kaya. Ia mulai memasang harga 3.500 Rupiah per kuburan. Setelah menjadi kontraktor, ia berjualan kopra dan berlayar ke Selayar serta sentra-sentra kopra lainnya demi mencari kopra yang murah. Eka memang sempat sukses dalam menjual kopra, namun kemudian ia hampir jatuh bangkrut karena adanya kebijakan Jepang tentang harga jual beli minyak kelapa. Ia pun harus mencari jalan keluar lain, akhirnya mulai berjualan gula, teng teng (makanan khas Makassar), wijen, dan kembang gula. Ketika usahanya mulai berkembang, harga gula jatuh sehingga ia rugi besar hingga harus berhutang.
Bisnis di era setelah kemerdekaan
Semua usaha yang ia rintis dari nol itu mengalami jatuh dan bangun. Pada tahun 1980, ia memutuskan untuk melanjutkan usahanya dan menjadi seorang pengusaha. Tidak tanggung-tanggung, ia membeli perkebunan kelapa sawit seluas sepuluh ribu hektar di Riau dan mesin serta pabrik yang bisa memuat 60 ribu ton kelapa sawit. Karena bisnisnya berkembang pesat, pada tahun 1981 ia memutuskan untuk membeli perkebunan teh seluas 1000 hektar dan pabrik dengan kapasitas 20 ribu ton teh.
Ayah tujuh orang anak
ini kemudian mulai merintis bisnis bank. Ia membeli Bank Internasional
Indonesia dengan aset sekitar 13 miliar Rupiah. Di bawah kepemimpinannya, bank
tersebut berhasl tumbuh pesat. Eka berhasil mengelola bank yang awalnya hanya
memiliki dua cabang ini menjadi bank beraset 9,2 triliun Rupiah dan memiliki
empat puluh kantor cabang. Keberhasilannya tentu tidak membuat suami Melfie
Pirieh Widjaja menjadi berpuas diri. Ia merambah ke bisnis kertas. Ia membeli
PT Indah Kiat yang biasa memproduksi hingga 700 ribu pulp dan 650 ribu kertas
tiap tahunnya. Eka juga membangun ITC Mangga Dua dan Green View Apartement di
Roxy serta Ambassador di Kuningan.
Pada tahun 2006, Eka juga membangun sebuah organisasi nirlaba bernama Eka Tjipta Foundation (ETF). Dengan motto “Menanam kebaikan, menuai kesejahteraan”, organisasi ini berfokus pada sosial kemasyarakatan dan budaya, pemberdayaan dan pembinaan, ekonomi masyarakat, serta pelestarian lingkungan hidup. Organisasi milik keluarga ini memiliki berbagai program, seperti Tjipta Sarjana Bangun Desa, Tjipta Pemuda Bangun Bangsa, ETF Narasi, Pelatihan Mediasi, dan Beasiswa BLK.
Tidak dapat dipungkiri lagi, Eka sendiri mengaku bahwa keberhasilannya tidak dapat lepas dari dukungan keluarganya. Ayah dari Nanny Widjaja, Lanny Widjaja, Jimmy Widjaja, Fenny Widjaja, Inneke Widjaja, Chenny Widjadja, dan Meilay Widjaja ini sekarang sudah bisa menuai apa yang ia usahakan sejak masih muda. Perjalanan bisnisnya membuktikan bahwa kerja keras dan keyakinan tidak akan pernah mengkhianati kita.
Pada tahun 2006, Eka juga membangun sebuah organisasi nirlaba bernama Eka Tjipta Foundation (ETF). Dengan motto “Menanam kebaikan, menuai kesejahteraan”, organisasi ini berfokus pada sosial kemasyarakatan dan budaya, pemberdayaan dan pembinaan, ekonomi masyarakat, serta pelestarian lingkungan hidup. Organisasi milik keluarga ini memiliki berbagai program, seperti Tjipta Sarjana Bangun Desa, Tjipta Pemuda Bangun Bangsa, ETF Narasi, Pelatihan Mediasi, dan Beasiswa BLK.
Tidak dapat dipungkiri lagi, Eka sendiri mengaku bahwa keberhasilannya tidak dapat lepas dari dukungan keluarganya. Ayah dari Nanny Widjaja, Lanny Widjaja, Jimmy Widjaja, Fenny Widjaja, Inneke Widjaja, Chenny Widjadja, dan Meilay Widjaja ini sekarang sudah bisa menuai apa yang ia usahakan sejak masih muda. Perjalanan bisnisnya membuktikan bahwa kerja keras dan keyakinan tidak akan pernah mengkhianati kita.
Comments
Post a Comment